Prolog
Perjalan. Aku anggap ini tahap baru
lagi, satu tingkat lebih lagi, menapaki satu anak tangga lagi, dan yang tak
pernah terlewat... adaptasi lagi. Satu hal yang paling sering mengunjungi,
datang, dan hadir tanpa ditahu apa, mengapa, dan bagaimana.
Pertama kalinya, aku merasakan bangga
yang menyelumuti semua kerja kerasku, membuka lebar jalan berkerikil yang
terpaksa aku lalui untuk sampai disini. Tidak seperti mereka, usahaku bahkan
melewati tafsir-tafsiran serta duga-dugaan yang awalnya aku pegang. Perjalan
ini berjalan lagi, menapaki lagi, berputar perlahan. Pelan namun pasti.
“ Gini lho!... masa orientasi itu bukan
neraka, tapi ladang berkah buat orang-orang berkadar intervert kaya kita-kita
ini”.
Aku mengerut, memalingkan lamunanku
dari tumpukan kertas warna yang sedari tadi kami kutati. Memandang kedua
temanku yang untuk kesedikian detik ini beradu argumen, aku tidak tahu apa
tepatnya yang mereka perdebatkan, dan apa yang mereka inginkan dari itu.
“ Intervert? Intervert?.. Oouuh!, yang
ada di buku “Who Am I?” itu ya?”.
“ Aduh ngak usah diperjelas bisa kali!”.
“ Hah? Perjelas? Emang tadi gue
memperjelas ya?”.
Dalam diam aku mengulum senyum,
terpaku. Dua bayangan nyata yang tadi aku lihat bertransformasi menjadi kabut.
Dua senyum khas itu serta merta ikut pergi, membuatku menyadari aku disini
sendiri, mempersiapakan segalanya sendirian. Dua bayang tadi hanya ilusi atau
mungkin lebih tepatnya imajinasi.
“ Banyak orang yang ngak bisa dewasa
karena dia takut sendiri, padahal salah satu syarat mutlak dewasa itu ya
mandiri, semuanya dilakukan secara sendiri...” .
Tiba-tiba dari balik pintu sosok Ibuku
muncul, menutup sebagian pintu kecil itu. Aku mengerut lagi, mencoba mengerti
maksud yang ingin ibuku sampaikan.
“ Tau ngak?.. sebenernya kita itu ngak
sendiri lho, kita punya dua penjaga mutlak yang Tuhan berikan”.
Aku mulai mengerti arah pembicaraan
ini, kembali lagi pada masa SD-ku dulu ketika ibu gemar sekali menceritakan
masa kecilnya beserta dongeng wajib yang selalu ia banggakan, kisah-kisah para
malaikat, yang aku tahu aku juga ikut arusnya, aku juga menyukainya.
Ibuku membelai kepalaku pelan “
otak...” .tangannya beralih ke bawah “... dan hati”. Aku termanggu, ternyata
dugaan awalku tentang kebiasaan masa SD-ku itu salah telak. Aku tergelak,
semakin intens memandangi Ibuku.
“ Kamu pahamkan maksud ibu”.
Aku menggeleng. Ibuku tersenyum lembut
“ Ibu tidak bisa mengatakan bagaimana, tetapi suatu saat nanti kamu akan
merasakannya, ketika dua penjagamu benar-benar menjagamu. Otakmu akan membawamu
menuju ketempat yang kamu inginkan dan hatimu akan memandumu kepada hal yang
benar.”.
Aku tersenyum gamang. Aku tidak tau apa
dan bagaimana, seakan ada cctv yang selalu merekamku, disetiap gerakku, dan
aktivitasku. Dan monitor besar itu seakan-akan tersembunyi didalam mata Ibuku.
Aku menatap Ibuku lagi, mungkin ini yang sering kali mereka katakan, bahwa
terkadang tidak ada hal yang tidak dapat kamu sembunyikan, semuanya seakan
hanya terbias kaca bening, transparan. Dan aku yakin, Ibuku tahu pasti
pergolakan yang saat ini aku alami.
“ Aku cuman malas beradatasi lagi, aku
sudah nyaman dengan situasi sekarang”.
“ Kenapa begitu?”.
“ Aku tidak mau pura-pura jadi orang
lain ketika bersama mereka nanti, aku tidak ingin membaur dan menyamakan diri
dengan mereka,...”.
“ Kalau begitu jangan...”.
“ Dan itu akan membuatku nyaris tidak
akan berbicara pada siapapun nantinya”.
“ Maksudmu?”. Kini ganti kening ibuku
yang berkerut.
“ Ibukan tahu. Aku ini tertutup dan
seperti biasanya saja, orang-orang seperti aku ini akan dianggap angin lalu.
Apa enaknya berteman dengan si pendiam. Tidak seru, kurang rame, kaya ngomong
sama patung” Aku rasa, nada suaraku mulai meninggi dan bergumul dengan
dumelan-dumelan kecil dari bibirku.
Ibuku tersenyum “ Apa kamu mau terus
seperti ini setiap memasuki awal baru?. Apa kamu akan terus seperti ini?”.
“ Ya enggaklah bu, tapi aku memang
sulit berbaur”.
“ Yasudahlah, itu bukan hal buruk, kok.
Jadi diri sendiri itu lebih nyaman, lho...”.
Aku meretas maksud yang ingin ibuku
sampaikan, makna yang tersembunyikan. Nasehat ini memang terdengar standar,
jadilah dirimu sendiri, dimanapun, kapanpu, dan dengan siapapun.
Pergolakan batin yang aku alami ketika
awal-awal masa kampus. Sensitifitas berlebihan yang aku rasakan. Dugaan konyol
yang aku jadikan panduan, tanpa tahu arahku sudah berpaling 180 derajat jauhnya
dari tujuanku, dari mauku. Saat ini, aku membuktikan apapun itu pasti akan
meliki tempat. Pendiam dan ceria selalu punya jalan untuk saling menemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar